Promosi kental manis dan literasi gizi yang salah kaprah

id Kental manis,promosi kesehatan,susu kental manis,tinggi gula,susu balita

Promosi kental manis dan literasi gizi yang salah kaprah

Ilustrasi - Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2021 atas perubahan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, produsen dilarang mempromosikan kental manis sebagai susu.  (ANTARA/Ist)

Jakarta (ANTARA) - Di balik kelezatan rasa manis yang menggoda dari segelas kental manis, tersembunyi persoalan kesehatan yang sudah lama luput dari perhatian serius.

Kental manis bukan hanya tentang gula dan susu, tetapi tentang persepsi, promosi, dan pola konsumsi yang keliru.

Di banyak rumah tangga Indonesia, terutama pada keluarga dengan akses terbatas terhadap literasi gizi, kental manis masih dipercaya sebagai susu yang layak dikonsumsi balita.

Kenyataan ini menjadi pangkal dari kekeliruan yang berpotensi membawa dampak kesehatan jangka panjang bagi generasi masa depan.



Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) baru-baru ini mengadakan pertemuan dengan Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) DKI Jakarta, untuk menyampaikan hasil temuan mereka terkait salah kaprah konsumsi kental manis.

Salah satu temuan yang paling mencemaskan adalah tingginya frekuensi konsumsi kental manis pada anak-anak, bahkan balita, sebagai pengganti susu.

Dalam banyak kasus, anak-anak mengonsumsinya lebih dari dua kali sehari. KOPMAS menekankan bahwa konsumsi semacam ini tidak hanya tidak sesuai dengan rekomendasi gizi, tetapi juga membahayakan.

Sekretaris Jenderal KOPMAS, Yuli Supriati, menjelaskan bahwa masih banyak masyarakat yang salah memahami kental manis sebagai susu yang setara secara gizi.

Persepsi ini terbentuk dari promosi jangka panjang yang keliru, termasuk pelanggaran terhadap regulasi iklan dan label yang telah ditetapkan pemerintah.

Sejak 2018, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan Peraturan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, yang kemudian diperbarui dengan Nomor 20 Tahun 2021 dan diperkuat dengan Peraturan Nomor 26 Tahun 2021 tentang Informasi Nilai Gizi.

Regulasi ini secara eksplisit melarang penyajian kental manis sebagai pengganti Air Susu Ibu (ASI) atau sebagai satu-satunya sumber gizi bagi anak.

Lebih jauh, aturan ini juga melarang penayangan iklan kental manis yang menampilkan anak-anak berusia di bawah lima tahun.

Namun, implementasi di lapangan tidak selalu sesuai harapan. Dalam rentang April hingga 31 Oktober 2024, KOPMAS mencatat 114 pelanggaran terhadap regulasi label dan promosi kental manis.

Data yang dihimpun dari laporan relawan dan masyarakat ini menunjukkan adanya lima pelanggaran dalam bentuk penulisan kata "susu" pada label kemasan, 27 pelanggaran pada takaran saji, 22 pelanggaran iklan di media cetak, daring, dan televisi, serta 60 pelanggaran yang dilakukan oleh influencer di media sosial.

Angka-angka ini mengindikasikan betapa kuatnya penetrasi promosi yang menyamarkan fakta nutrisi dan menggiring masyarakat pada praktik konsumsi yang keliru.


Kejadian stunting

KOPMAS juga memaparkan kerja sama riset dengan Universitas Indonesia pada tahun 2023, yang menunjukkan adanya korelasi antara konsumsi kental manis secara berlebih dengan kejadian stunting pada balita di wilayah Pengasinan, Depok.

Penelitian ini memperkuat kekhawatiran bahwa penggunaan kental manis sebagai pengganti susu berpotensi berkontribusi terhadap masalah gizi kronis yang sudah lama menjadi tantangan kesehatan masyarakat di Indonesia.

Dalam konteks ini, stunting tidak hanya mencerminkan kekurangan gizi kuantitatif, tetapi juga kualitas gizi yang tidak memadai.

Dari sisi komposisi, kental manis memang tidak dapat disamakan dengan susu. Mengutip laman alodokter, kandungan gula dalam kental manis bisa mencapai lima kali lebih tinggi dibandingkan susu sapi biasa.

Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan bahwa asupan gula tambahan harian tidak boleh melebihi 10 persen dari total energi harian, yang setara dengan sekitar 50 gram gula untuk orang dewasa.

Bagi anak-anak, ambang batas ini tentu jauh lebih rendah. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 pun menegaskan bahwa konsumsi gula dari seluruh makanan dan minuman sebaiknya tidak melebihi 50 gram per hari, atau sekitar empat sendok makan.

Dengan komposisi yang tinggi gula dan sangat rendah kandungan proteinnya, kental manis seharusnya hanya digunakan sebagai pelengkap atau topping, bukan sebagai minuman utama, apalagi untuk anak-anak.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak keluarga yang tidak menyadari risiko ini.

Dalam banyak kasus, konsumsi kental manis sebagai minuman harian anak-anak justru dipromosikan sebagai pilihan praktis dan ekonomis.

Diperparah lagi dengan iklan-iklan yang secara visual menggambarkan kental manis sebagai bagian dari sarapan sehat atau kebersamaan keluarga.

Narasi semacam ini menanamkan asosiasi positif terhadap produk, yang pada akhirnya menutupi fakta nutrisi yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan makanan dan minuman.

Ketika kebiasaan ini berlangsung lama, bukan hanya masalah gizi yang akan timbul, tetapi juga potensi penyakit metabolik seperti obesitas dan diabetes di usia dini.

Di tengah upaya besar pemerintah untuk menurunkan angka stunting nasional, persoalan konsumsi kental manis ini tidak bisa dianggap sepele.

Edukasi publik harus diperkuat, dan pelaksanaan regulasi perlu lebih tegas dan konsisten. Peran keluarga, khususnya ibu-ibu yang menjadi garda depan dalam pemenuhan gizi keluarga, harus diperkuat dengan informasi yang benar dan akurat.

Dalam hal ini, pertemuan antara KOPMAS dan PKK DKI Jakarta menjadi langkah strategis yang layak diapresiasi dan direplikasi di berbagai wilayah lain.

Lebih dari sekadar produk pangan, kental manis adalah potret dari tantangan besar literasi gizi di Indonesia.

Ketika masyarakat belum mampu membedakan antara susu, minuman berpemanis, dan produk olahan lainnya, maka dibutuhkan intervensi kebijakan yang tidak hanya berbentuk regulasi di atas kertas, tetapi juga aksi nyata di lapangan.

Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, akademisi, media, hingga para pemengaruh di media sosial harus mengambil tanggung jawab bersama untuk meluruskan informasi yang salah dan menyuarakan fakta ilmiah.

Masa depan generasi Indonesia tidak boleh dikompromikan hanya karena kekeliruan persepsi dan lemahnya pengawasan.

Jika tidak segera dikoreksi, kekeliruan ini akan terus diwariskan, dan bangsa ini akan kehilangan kesempatan untuk membentuk masyarakat yang sehat, cerdas, dan tangguh secara fisik sejak usia dini.

Oleh karena itu, pembenahan konsumsi kental manis bukan sekadar isu label, tapi juga soal masa depan kesehatan bangsa.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Promosi kental manis dan literasi gizi yang salah kaprah

Pewarta :
Uploader: Aang Sabarudin
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
OSZAR »